Aturan Warisan Dalam Islam
Masrozak dot com, kali ini ingin berbagi seputar Aturan Warisan Dalam Islam. Mudah - mudahan bermanfaat. Sumber dari www.tafsir.web.id.
Warisan dalam islam pembagiannya sangatlah berbeda dengan anggapan manusia yang beranggapan pembagian harus sama rata sampai empat angka dibelakang koma.
Pembagian warisan dalam islam mengandung unsur - unsur tertentu yang tidak boleh dilewatkan. Pembagian warisan ini telah dijelaskan dalam Al qur'an dan hadist sebagai berikut ini.
Artinya :
11.[1] [2] Allah mensyari'atkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu[3], yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan[4]. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga[5] dari harta yang ditinggalkan[6]. Jika anak perempuan itu seorang saja[7], maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak[8]. Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga[9]. Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara[10], maka ibunya mendapat seperenam[11]. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan) setelah dibayar hutangnya[12]. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu[13]. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
12. Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) setelah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak[14]. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) setelah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah[15] dan tidak meninggalkan anak[16], tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu[17], setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya[18] atau (dan) setelah dibayar hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris)[19]. Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
[1] Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar menjengukku di Bani Salamah dengan berjalan kaki. Ketika itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendapatkanku dalam keadaan tidak sadar. Maka Beliau meminta dibawakan air, lalu berwudhu' daripadanya dan memercikkan air ke mulutku, kemudian aku sadar. Lantas aku berkata, "Apa perintahmu kepadaku tentang hartaku (ini), wahai Rasulullah." Maka turunlah ayat, "Yuushiikumullahu fii awlaadikum…dst."
[2] Ayat di atas (yakni ayat 11 dan 12) serta ayat terakhir surat An Nisa' adalah ayat-ayat tentang warisan, ditambah dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang terdekat." (HR. Bukhari dan Muslim)
Sudah mencakup sebagian besar hukum-hukum faraa'idh, bahkan menerangkan semuanya sebagaimana yang akan kita lihat selain warisan nenek shahih; yang tidak disebutkan di sana. Namun telah tsabit (tetap) dalam As Sunnah, dari Mughirah bin Syu'bah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan 1/6 kepada nenek, dan para ulama pun telah sepakat seperti itu.
[3] Ada yang menafsirkan lebih luas lagi kata-kata "Yuushiikumullahu fii awlaadikum", yakni wahai para orang tua, di sisi kalian ada titipan yang Allah wasiatkan terhadapnya, yaitu agar kamu memperhatikan maslahat anak-anakmu baik terkait dengan agama maupun dunia, kamu membimbing mereka dan mengajarkan adab serta menghindarkan dari mafsadat, kamu menyuruh mereka menaati Allah dan agar senantiasa bertakwa sebagaimana firman-Nya "Quu anfusakum wa ahliikum naaraa" (Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka). Oleh karena itu, orang tua mendapatkan wasiat terhadap anak-anaknya; yakni apakah orang tua akan memenuhi wasiat itu atau mengabaikannya sehingga mereka memperoleh ancaman dan siksa. Hal ini menunjukkan bahwa Allah Ta'ala lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada sayangnya orang tua mereka, di mana Allah Ta'ala mewasiatkan para orang tua untuk memperhatikan anaknya meskipun orang tua memiliki rasa sayang yang dalam kepada anaknya.
[4] Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34). Anak laki-laki di ayat ini adalah anak kandung, anaknya anak (cucu) dst. ke bawah, jika tidak ada orang yang mendapat bagian tertentu (shahib fardh) atau bagian telah diberikan kemudian ada sisa, maka anak-anak menghabisinya dengan ketentuan seorang anak laki-laki mendapat dua bagian dua anak perempuan. Jika masih ada anak kandung, maka anaknya anak (cucu) tidak mendapatkan bagian. Keadaan di atas adalah ketika berkumpul anak laki-laki dengan anak perempuan.
[5] "Lebih dari dua" maksudnya dua atau lebih. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan kepada dua puteri Sa'ad 2/3. Baik anak perempuan tersebut adalah anak kandung atau puteri dari anak laki-laki. Faedah disebutkan "lebih dari dua" adalah untuk memberitahukan bahwa bagian 2/3 itu tidaklah bertambah meskipun jumlah anak perempuan itu banyak. Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa jika ada anak perempuan kandung seorang saja dan ada seorang atau lebih puteri dari anak laki-laki, maka anak perempuan kandung mendapatkan 1/2, sisanya dari 2/3 yaitu 1/6 diberikan kepada seorang puteri dari anak laki-laki atau lebih, inilah yang dimaksud dengan menyempurnakan menjadi 2/3. Termasuk ke dalam contoh ini adalah puteri dari anak laki-laki bersama dengan puteri dari anak laki-laki yang di bawahnya.
[6] Kata-kata "dari harta yang ditinggalkan" menunjukkan bahwa ahli waris mewarisi semua yang ditinggalkan si mati, baik 'aqaar (benda tidak bergerak/tidak bisa dipindahkan), perabot, emas, perak dsb. bahkan termasuk pula diyat yang tidak wajib kecuali setelah meninggalnya dan piutang yang ada pada orang lain.
Berdasarkan keterangan ini, maka bahwa harta warisan itu terbagi dua:
Harta yang dapat dibagi, bisa langsung diberikan berdasarkan bagiannya masing-masing. Akan tetapi, harta yang tidak bisa dibagi, harus diuangkan terlebih dahulu. Kalau tidak, maka hanya akan diperoleh angka bagian di atas kertas dalam bentuk nisbah (persentase). Artinya masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan bagiannya, memiliki saham atas harta tersebut.
Misalnya seorang wafat meninggalkan dua buah rumah yang sama besar, tetapi beda harganya. Ia memiliki dua orang anak laki-laki, maka harta ini tidak dapat dibagi Kecuali jika mereka mau berdamai, atau saling mengikhlaskan, itu pun setelah mengetahui bagian yang seharusnya mereka terima] tetapi hanya bisa diberikan nisbah (persentase) bagian sebagaimana yang sudah diatur dalam ilmu Faraa’id.
Menurut sebagian ulama termasuk juga ke dalam tarikah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh si mayyit, berupa harta yang ia peroleh selama hidupnya, atau hak dia yang ada pada orang lain seperti barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau amanatnya, atau barang yang digadaikan atau barang baru yang diperoleh karena terbunuhnya dia, atau kecelakaan yang berupa santunan ganti rugi.
a. Peralatan tidur untuk istri dan peralatan yang khusus bagi dirinya, atau pemberian suami kepada istrinya semasa hidupnya.
b. Harta yang diwaqafkan oleh si mati, seperti kitab dan lainnya.
c. Barang yang diperoleh dengan cara haram, seperti barang curian, hendaknya diserahkan kepada pemiliknya atau diserahkan kepada pihak yang berwajib.
Perlu diketahui bahwa tidak termasuk tarikah hibah dan wasiat.
Adapun hibah adalah pemberian yang dilakukan ketika si mati masih hidup, sedangkan wasiat adalah pemberian yang dilakukan ketika si mati sudah meninggal.
- Jika istri ikut mengusahakan (bekerja membeli) sebuah rumah (misalnya separuh dia yang membayarkan), maka rumah tersebut yang berhak diwariskan hanya separuh.
- Jika istri ikut bekerja dengan suami atau modal dari pihak isteri dan suami sama banyak, maka kedua-duanya memiliki hak mendapat separuh. Dalam usaha mendapatkan kekayaan itu, jika suami bekerja lebih, maka ia boleh mengambil hartanya secara ma'ruf (pantas), begitu juga isteri. Semua yang disebutkan ini, jika tidak ada perjanjian antara mereka berdua lebih dahulu. Apabila ada perjanjian, maka perjanjian itu harus diikuti, hal ini disebut juga syarikatul abdaan, yakni berserikat dengan badan untuk menghasilkan harta.
[7] Yakni seorang anak perempuan kandung atau puteri dari anak laki-laki.
[8] Baik anak laki-laki atau anak perempuan. Demikian juga baik anak itu adalah anak kandung atau anaknya anak (cucu), baik seorang saja atau lebih. Bagi ibu jatahnya tidak lebih dari 1/6 ketika ada anak, adapun bapak jika bersama anak laki-laki, maka jatahnya tidak lebih dari 1/6 (tanpa ditambah sisa), namun jika anaknya seorang wanita atau beberapa orang wanita dan tidak ada sisa –seperti halnya jika ahli waris hanya ibu-bapak dan dua orang puteri yang totalnya 6/6 (dari 1/6 (bapak) + 1/6 (ibu) + 2/3 (2 puteri) sehingga tidak bersisa)- maka bapak tidak mendapatkan sisa. Tetapi jika masih ada sisa setelah diberikan bagian seorang puteri atau beberapa orang puteri, maka bapak disamping mengambil jatahnya 1/6, ia pun mengambil sisanya sebagai 'ashabah. Inilah yang dimaksud hadits, "Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang terdekat." (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam hal ini bapak lebih dekat dengan si mati daripada saudara, paman dan lainnya. Oleh karenanya, urutan terdekat adalah bunuwwah (anak dst. ke bawah), ubuwwah (bapak dst. ke atas), ukhuwwah (saudara dan anak-anaknya) dan umuumah (paman dan anak-anaknya).
[9] Sedangkan sisanya untuk bapak, hal ini karena sebelumnya harta disandarkan kepada ibu dan bapak, lalu disebutkan bagian ibu yaitu 1/3, berarti sisanya untuk bapak. Dari sini diketahui, bahwa seorang bapak jika tidak ada anak, maka ia tidak ada fardh (bagian tertentu), bahkan mewarisi semua harta atau mewarisi sisanya setelah diberikan jatah (fardh) yang memiliki jatah. Tetapi, jika bersama ibu dan bapak ada salah satu suami atau istri –hal ini biasa disebut masalah 'Umariyyatain-, maka suami atau istri setelah mengambil bagiannya, lalu ibu mengambil 1/3 dari sisa dan sisanya untuk bapak.
- (Si mati meninggalkan) suami, ibu dan ayah, masalahnya adalah 6 (KPK antara 2 (dari ½) dan 3 (dari 1/3)), sehingga untuk suami ½ dari 6 yaitu 3, untuk ibu 1/3 dari sisa yaitu 1, dan untuk ayah sisanya yaitu 2.
- Istri, ibu dan ayah, masalahnya adalah 4, untuk istri 1/4 yaitu 1, untuk ibu 1/3 dari sisanya yaitu 1, dan untuk ayah sisanya yaitu 2.
[10] Dua orang atau lebih, baik mereka laki-laki saja, atau laki-laki bersama wanita atau wanita saja, juga sama saja baik sekandung, seayah atau seibu; laki-laki atau perempuan, menjadi ahli waris (misalnya ketika bapak tidak ada) atau terhalang dengan bapak (karena ada bapak) atau kakek. Namun ada yang berpendapat bahwa zhahir ayat " Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara " tidak mencakup kepada yang bukan ahli waris. Oleh karena itu, yang bisa menghalangi ibu mendapatkan 1/3 hanyalah saudara yang menjadi ahli waris (seperti ketika bapak tidak ada). Jika saudara-saudara bukan ahli waris (misalnya karena ada bapak), maka mereka tidak menghalangi ibu mendapat 1/3. Namun demikian, hal ini dengan syarat jumlah saudara itu dua atau lebih.
Pertama, mendapat 1/6 jika ada beberapa orang saudara yang menjadi ahli waris (seperti ketika tidak ada bapak).
Kedua, mendapat 1/3 jika ada beberapa orang saudara yang bukan menjadi ahli waris (seperti ketika ada bapak).
Namun ada pula yang berpendapat bahwa jika ada beberapa saudara, baik ia menjadi ahli waris atau tidak, maka ibu tetap mendapat 1/6, wallahu a'lam.
[11] Sisanya untuk bapak, dan saudara tidak mendapat apa-apa karena mahjub (terhalang).
[12] Urutannya adalah dibayarkan hutang terlebih dahulu, baru kemudian dipenuhi wasiatnya. Didahulukan kata wasiat pada ayat di atas adalah agar kita memperhatikannya, karena biasanya ahli waris berat mengeluarkannya. Hutang di ayat ini pun mencakup hutang kepada Allah maupun hutang kepada manusia.
- Hutang yang berkaitan dengan 'ain (benda) tarikah, misalnya ada benda milik orang lain pada harta si mati.
- Biaya pengurusan jenazah
- Hutang lepas, yakni yang tidak berkaitan dengan 'ain tarikah. Dalam hal ini menurut sebagian ulama didahulukan hutang kepada Allah, baru kemudian hutang kepada manusia.
- Wasiat.
Setelah itu dilakukan pembagian warisan.
[13] Jika sekiranya ukuran warisan diserahkan kepada akal dan pikiran kamu tentu akan timbul madharat (bahaya) yang hanya Allah yang mengetahuinya, karena keterbatasan akalmu dan tidak mengetahui hal yang lebih tepat, cocok dan dapat digunakan di setiap waktu dan setiap tempat. Kamu tidak mengetahui apakan anak atau kedua orang tua yang lebih besar manfaatnya dan lebih dekat kepada tujuan agama dan dunia.
[14] Yakni anak kandung atau anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan, seorang atau lebih, baik lahir dari suami atau dari laki-laki lain. Namun tidak mengurangi jatah suami (1/2) atau istri (1/4) anak dari puterinya berdasarkan ijma'.
[15] Dan kakek dst. ke atas .
[16] Anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki dst. ke bawah.
Ahli waris yang tidak meninggalkan bapak/kakek dan anak/cucu disebut dengan kalalah. Berdasarkan ayat ini, maka bapak/kakek dan anak/cucu ketika ada menghalangi saudara/i seibu mendapatkan bagian 1/6 atau 1/3.
[17] Yakni mereka tidak lebih dari 1/3 meskipun jumlahnya lebih dari dua. Ayat ini juga menunjukkan bahwa yang laki-laki dan yang wanitanya mendapatkan bagian yang sama, karena lafaz "syurakaa" di ayat tersebut menunjukkan sama. Kata-kata "Fahum syurakaa' fits tsuluts" menunjukkan bahwa saudara sekandung menjadi gugur (tidak mendapat warisan) dalam masalah yang biasa disebut sebagai masalah Himaariyyah (dinamakan himariyyah menurut riwayat adalah karena dalam kasus seperti ini, seorang hakim pernah memutuskan bahwa saudara sekandung tidak mendapatkan bagian, sehingga yang tidak mendapatkan bagian ini berkata, "Katakanlah ayah kami himar (keledai) atau batu yang dicampakkan ke laut, namun bukankah ibu kami satu? Mengapa saudara seibu dapat pusaka, padahal kami juga seibu dengan mereka, tetapi mengapa tidak dapat?") ,yaitu ketika si mati meninggalkan suami, ibu, saudara/i seibu dan saudara kandung. Suami mendapatkan 1/2, ibu mendapatkan 1/6, saudara/i seibu mendapatkan 1/3, sedangkan saudara-saudara sekandung gugur (karena harta habis). Hal itu, karena Allah menyandarkan 1/3 kepada saudara/i seibu, jika sekiranya saudara-saudara sekandung ikut mengambil bagian, tentu hal ini sama saja menyatukan masalah yang Allah memisahkannya. Di samping itu, saudara/i seibu tergolong as-habul furudh (orang-orang yang berhak mendapat bagian tertentu), sedangkan saudara sekandung tergolong 'ashabah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ""Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang terdekat." (lafaznya sudah disebutkan sebelumnya). Dalam masalah himariyyah ini, tidak ada sisa, karena bagiannya telah habis diambil oleh as-habul furudh sehingga saudara sekandung tidak mendapatkannya (gugur).
Adapun bagian saudara/i sekandung atau sebapak, maka sudah disebutkan di akhir surat An Nisaa', "Yastaftuunaka fil kalaalah…dst." Berdasarkan ayat tersebut seorang saudari sekandung atau sebapak mendapatkan 1/2, jika ada dua maka mendapatkan 2/3 (yakni ketika tidak ada anak/cucu, ayah/kakek dan tidak ada saudara sekandung atau sebapak).
Namun seorang saudari sekandung jika bersama seorang saudari sebapak atau beberapa orang saudari sebapak mengambil 1/2, sedangkan sisanya dari 2/3 yaitu 1/6 untuk seorang saudari atau beberapa orang saudari sebapak menyempurnakan 2/3. Contoh: seorang wafat meninggalkan saudari sekandung, saudari seayah dan paman sekandung, maka saudari sekandung mendapatkan ½, saudari seayah mendapatkan 1/6 menyempurnakan 2/3 dan sisanya untuk paman.
Saudari kandung mewarisi sebagai ‘ashabah ma’al ghair apabila si mati meninggalkan wanita yang termasuk far’ (anak, cucu, dst. ke bawah) yang mendapatkan warisan sebagai as-habul furuudh, sehingga saudari kandung menduduki saudara sekandung. Contoh saudari kandung mewarisi sebagai ‘ashabah ma’al ghair adalah seorang wafat meninggalkan puterinya, puteri anaknya yang laki-laki, saudari sekandung dan saudara seayah, maka untuk puteri adalah ½, untuk puteri dari anaknya yang laki-laki adalah 1/6 untuk menyempurnakan 2/3, saudari kandung mendapatkan sisanya, sedangkan saudara seayah tidak mendapatkan apa-apa.
Jika beberapa orang-orang saudari sekandung menghabiskan 2/3, maka saudari-saudari sebapak gugur (tidak mendapatkan apa-apa) kecuali jika bersama mereka saudara sebapak yang berada sama dengan derajat mereka, maka mereka di'ashabahkan, sehingga sisanya untuk laki-laki dua orang bagian perempuan. Contoh: si mati meninggalkan dua orang saudari sekandung, saudari-saudari seayah dan seorang saudara seayah, maka dua orang saudari sekandung itu mendapat 2/3, dan sisanya dibagi antara saudara-saudara perempuan seayah dan saudara laki-laki seayah dengan pembagian bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
Jika beberapa orang saudara itu terdiri dari laki-laki dan perempuan (yakni jika bersama saudari kandung ada saudara laki-laki sekandung), maka saudari kandung menempati posisi 'ashabah bil ghair, sehingga bagiannya adalah seorang saudara laki-laki adalah dua bagian perempuan. Wallahu a'lam bish shawab.
Untuk Tabel Supaya lebih jelas Silahkan bisa di download disini Download
Sumber :
Penjelasan Lebih lengkapnya lihat di sini http://www.tafsir.web.id/2013/01/tafsir-nisa-ayat-11-12.html
Tulisan Ayat Al Qur'an dari http://quran.com/4/11-12
Warisan dalam islam pembagiannya sangatlah berbeda dengan anggapan manusia yang beranggapan pembagian harus sama rata sampai empat angka dibelakang koma.
Pembagian warisan dalam islam mengandung unsur - unsur tertentu yang tidak boleh dilewatkan. Pembagian warisan ini telah dijelaskan dalam Al qur'an dan hadist sebagai berikut ini.
Al Qur'an Surat Annisa Ayat 11 - 12
Artinya :
11.[1] [2] Allah mensyari'atkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu[3], yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan[4]. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga[5] dari harta yang ditinggalkan[6]. Jika anak perempuan itu seorang saja[7], maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak[8]. Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga[9]. Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara[10], maka ibunya mendapat seperenam[11]. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan) setelah dibayar hutangnya[12]. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu[13]. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
12. Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) setelah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak[14]. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) setelah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah[15] dan tidak meninggalkan anak[16], tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu[17], setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya[18] atau (dan) setelah dibayar hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris)[19]. Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
[1] Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar menjengukku di Bani Salamah dengan berjalan kaki. Ketika itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendapatkanku dalam keadaan tidak sadar. Maka Beliau meminta dibawakan air, lalu berwudhu' daripadanya dan memercikkan air ke mulutku, kemudian aku sadar. Lantas aku berkata, "Apa perintahmu kepadaku tentang hartaku (ini), wahai Rasulullah." Maka turunlah ayat, "Yuushiikumullahu fii awlaadikum…dst."
[2] Ayat di atas (yakni ayat 11 dan 12) serta ayat terakhir surat An Nisa' adalah ayat-ayat tentang warisan, ditambah dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang terdekat." (HR. Bukhari dan Muslim)
Sudah mencakup sebagian besar hukum-hukum faraa'idh, bahkan menerangkan semuanya sebagaimana yang akan kita lihat selain warisan nenek shahih; yang tidak disebutkan di sana. Namun telah tsabit (tetap) dalam As Sunnah, dari Mughirah bin Syu'bah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan 1/6 kepada nenek, dan para ulama pun telah sepakat seperti itu.
[3] Ada yang menafsirkan lebih luas lagi kata-kata "Yuushiikumullahu fii awlaadikum", yakni wahai para orang tua, di sisi kalian ada titipan yang Allah wasiatkan terhadapnya, yaitu agar kamu memperhatikan maslahat anak-anakmu baik terkait dengan agama maupun dunia, kamu membimbing mereka dan mengajarkan adab serta menghindarkan dari mafsadat, kamu menyuruh mereka menaati Allah dan agar senantiasa bertakwa sebagaimana firman-Nya "Quu anfusakum wa ahliikum naaraa" (Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka). Oleh karena itu, orang tua mendapatkan wasiat terhadap anak-anaknya; yakni apakah orang tua akan memenuhi wasiat itu atau mengabaikannya sehingga mereka memperoleh ancaman dan siksa. Hal ini menunjukkan bahwa Allah Ta'ala lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada sayangnya orang tua mereka, di mana Allah Ta'ala mewasiatkan para orang tua untuk memperhatikan anaknya meskipun orang tua memiliki rasa sayang yang dalam kepada anaknya.
[4] Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34). Anak laki-laki di ayat ini adalah anak kandung, anaknya anak (cucu) dst. ke bawah, jika tidak ada orang yang mendapat bagian tertentu (shahib fardh) atau bagian telah diberikan kemudian ada sisa, maka anak-anak menghabisinya dengan ketentuan seorang anak laki-laki mendapat dua bagian dua anak perempuan. Jika masih ada anak kandung, maka anaknya anak (cucu) tidak mendapatkan bagian. Keadaan di atas adalah ketika berkumpul anak laki-laki dengan anak perempuan.
[5] "Lebih dari dua" maksudnya dua atau lebih. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan kepada dua puteri Sa'ad 2/3. Baik anak perempuan tersebut adalah anak kandung atau puteri dari anak laki-laki. Faedah disebutkan "lebih dari dua" adalah untuk memberitahukan bahwa bagian 2/3 itu tidaklah bertambah meskipun jumlah anak perempuan itu banyak. Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa jika ada anak perempuan kandung seorang saja dan ada seorang atau lebih puteri dari anak laki-laki, maka anak perempuan kandung mendapatkan 1/2, sisanya dari 2/3 yaitu 1/6 diberikan kepada seorang puteri dari anak laki-laki atau lebih, inilah yang dimaksud dengan menyempurnakan menjadi 2/3. Termasuk ke dalam contoh ini adalah puteri dari anak laki-laki bersama dengan puteri dari anak laki-laki yang di bawahnya.
[6] Kata-kata "dari harta yang ditinggalkan" menunjukkan bahwa ahli waris mewarisi semua yang ditinggalkan si mati, baik 'aqaar (benda tidak bergerak/tidak bisa dipindahkan), perabot, emas, perak dsb. bahkan termasuk pula diyat yang tidak wajib kecuali setelah meninggalnya dan piutang yang ada pada orang lain.
Berdasarkan keterangan ini, maka bahwa harta warisan itu terbagi dua:
- Harta warisan yang dapat dibagi. Misalnya uang, tanah yang harga dan isinya sama, dsb.
- Harta yang tidak bisa dibagi sama rata. Misalnya bangunan, tanah yang berbeda isinya, barang perkakas, kendaraan, dan lainnya.
Harta yang dapat dibagi, bisa langsung diberikan berdasarkan bagiannya masing-masing. Akan tetapi, harta yang tidak bisa dibagi, harus diuangkan terlebih dahulu. Kalau tidak, maka hanya akan diperoleh angka bagian di atas kertas dalam bentuk nisbah (persentase). Artinya masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan bagiannya, memiliki saham atas harta tersebut.
Misalnya seorang wafat meninggalkan dua buah rumah yang sama besar, tetapi beda harganya. Ia memiliki dua orang anak laki-laki, maka harta ini tidak dapat dibagi Kecuali jika mereka mau berdamai, atau saling mengikhlaskan, itu pun setelah mengetahui bagian yang seharusnya mereka terima] tetapi hanya bisa diberikan nisbah (persentase) bagian sebagaimana yang sudah diatur dalam ilmu Faraa’id.
Menurut sebagian ulama termasuk juga ke dalam tarikah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh si mayyit, berupa harta yang ia peroleh selama hidupnya, atau hak dia yang ada pada orang lain seperti barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau amanatnya, atau barang yang digadaikan atau barang baru yang diperoleh karena terbunuhnya dia, atau kecelakaan yang berupa santunan ganti rugi.
Adapun barang yang tidak berhak diwarisi di antaranya adalah:
a. Peralatan tidur untuk istri dan peralatan yang khusus bagi dirinya, atau pemberian suami kepada istrinya semasa hidupnya.
b. Harta yang diwaqafkan oleh si mati, seperti kitab dan lainnya.
c. Barang yang diperoleh dengan cara haram, seperti barang curian, hendaknya diserahkan kepada pemiliknya atau diserahkan kepada pihak yang berwajib.
Perlu diketahui bahwa tidak termasuk tarikah hibah dan wasiat.
Adapun hibah adalah pemberian yang dilakukan ketika si mati masih hidup, sedangkan wasiat adalah pemberian yang dilakukan ketika si mati sudah meninggal.
Faedah:
- Jika istri ikut mengusahakan (bekerja membeli) sebuah rumah (misalnya separuh dia yang membayarkan), maka rumah tersebut yang berhak diwariskan hanya separuh.
- Jika istri ikut bekerja dengan suami atau modal dari pihak isteri dan suami sama banyak, maka kedua-duanya memiliki hak mendapat separuh. Dalam usaha mendapatkan kekayaan itu, jika suami bekerja lebih, maka ia boleh mengambil hartanya secara ma'ruf (pantas), begitu juga isteri. Semua yang disebutkan ini, jika tidak ada perjanjian antara mereka berdua lebih dahulu. Apabila ada perjanjian, maka perjanjian itu harus diikuti, hal ini disebut juga syarikatul abdaan, yakni berserikat dengan badan untuk menghasilkan harta.
[7] Yakni seorang anak perempuan kandung atau puteri dari anak laki-laki.
[8] Baik anak laki-laki atau anak perempuan. Demikian juga baik anak itu adalah anak kandung atau anaknya anak (cucu), baik seorang saja atau lebih. Bagi ibu jatahnya tidak lebih dari 1/6 ketika ada anak, adapun bapak jika bersama anak laki-laki, maka jatahnya tidak lebih dari 1/6 (tanpa ditambah sisa), namun jika anaknya seorang wanita atau beberapa orang wanita dan tidak ada sisa –seperti halnya jika ahli waris hanya ibu-bapak dan dua orang puteri yang totalnya 6/6 (dari 1/6 (bapak) + 1/6 (ibu) + 2/3 (2 puteri) sehingga tidak bersisa)- maka bapak tidak mendapatkan sisa. Tetapi jika masih ada sisa setelah diberikan bagian seorang puteri atau beberapa orang puteri, maka bapak disamping mengambil jatahnya 1/6, ia pun mengambil sisanya sebagai 'ashabah. Inilah yang dimaksud hadits, "Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang terdekat." (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam hal ini bapak lebih dekat dengan si mati daripada saudara, paman dan lainnya. Oleh karenanya, urutan terdekat adalah bunuwwah (anak dst. ke bawah), ubuwwah (bapak dst. ke atas), ukhuwwah (saudara dan anak-anaknya) dan umuumah (paman dan anak-anaknya).
[9] Sedangkan sisanya untuk bapak, hal ini karena sebelumnya harta disandarkan kepada ibu dan bapak, lalu disebutkan bagian ibu yaitu 1/3, berarti sisanya untuk bapak. Dari sini diketahui, bahwa seorang bapak jika tidak ada anak, maka ia tidak ada fardh (bagian tertentu), bahkan mewarisi semua harta atau mewarisi sisanya setelah diberikan jatah (fardh) yang memiliki jatah. Tetapi, jika bersama ibu dan bapak ada salah satu suami atau istri –hal ini biasa disebut masalah 'Umariyyatain-, maka suami atau istri setelah mengambil bagiannya, lalu ibu mengambil 1/3 dari sisa dan sisanya untuk bapak.
Contoh masalah umariyyatain adalah:
- (Si mati meninggalkan) suami, ibu dan ayah, masalahnya adalah 6 (KPK antara 2 (dari ½) dan 3 (dari 1/3)), sehingga untuk suami ½ dari 6 yaitu 3, untuk ibu 1/3 dari sisa yaitu 1, dan untuk ayah sisanya yaitu 2.
- Istri, ibu dan ayah, masalahnya adalah 4, untuk istri 1/4 yaitu 1, untuk ibu 1/3 dari sisanya yaitu 1, dan untuk ayah sisanya yaitu 2.
[10] Dua orang atau lebih, baik mereka laki-laki saja, atau laki-laki bersama wanita atau wanita saja, juga sama saja baik sekandung, seayah atau seibu; laki-laki atau perempuan, menjadi ahli waris (misalnya ketika bapak tidak ada) atau terhalang dengan bapak (karena ada bapak) atau kakek. Namun ada yang berpendapat bahwa zhahir ayat " Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara " tidak mencakup kepada yang bukan ahli waris. Oleh karena itu, yang bisa menghalangi ibu mendapatkan 1/3 hanyalah saudara yang menjadi ahli waris (seperti ketika bapak tidak ada). Jika saudara-saudara bukan ahli waris (misalnya karena ada bapak), maka mereka tidak menghalangi ibu mendapat 1/3. Namun demikian, hal ini dengan syarat jumlah saudara itu dua atau lebih.
Berdasarkan keterangan di atas, maka bagian ibu ketika ada saudara:
Pertama, mendapat 1/6 jika ada beberapa orang saudara yang menjadi ahli waris (seperti ketika tidak ada bapak).
Kedua, mendapat 1/3 jika ada beberapa orang saudara yang bukan menjadi ahli waris (seperti ketika ada bapak).
Namun ada pula yang berpendapat bahwa jika ada beberapa saudara, baik ia menjadi ahli waris atau tidak, maka ibu tetap mendapat 1/6, wallahu a'lam.
[11] Sisanya untuk bapak, dan saudara tidak mendapat apa-apa karena mahjub (terhalang).
[12] Urutannya adalah dibayarkan hutang terlebih dahulu, baru kemudian dipenuhi wasiatnya. Didahulukan kata wasiat pada ayat di atas adalah agar kita memperhatikannya, karena biasanya ahli waris berat mengeluarkannya. Hutang di ayat ini pun mencakup hutang kepada Allah maupun hutang kepada manusia.
Dengan demikian, urutan yang harus dikeluarkan dari tarikah adalah sbb:
- Hutang yang berkaitan dengan 'ain (benda) tarikah, misalnya ada benda milik orang lain pada harta si mati.
- Biaya pengurusan jenazah
- Hutang lepas, yakni yang tidak berkaitan dengan 'ain tarikah. Dalam hal ini menurut sebagian ulama didahulukan hutang kepada Allah, baru kemudian hutang kepada manusia.
- Wasiat.
Setelah itu dilakukan pembagian warisan.
[13] Jika sekiranya ukuran warisan diserahkan kepada akal dan pikiran kamu tentu akan timbul madharat (bahaya) yang hanya Allah yang mengetahuinya, karena keterbatasan akalmu dan tidak mengetahui hal yang lebih tepat, cocok dan dapat digunakan di setiap waktu dan setiap tempat. Kamu tidak mengetahui apakan anak atau kedua orang tua yang lebih besar manfaatnya dan lebih dekat kepada tujuan agama dan dunia.
[14] Yakni anak kandung atau anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan, seorang atau lebih, baik lahir dari suami atau dari laki-laki lain. Namun tidak mengurangi jatah suami (1/2) atau istri (1/4) anak dari puterinya berdasarkan ijma'.
[15] Dan kakek dst. ke atas .
[16] Anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki dst. ke bawah.
Ahli waris yang tidak meninggalkan bapak/kakek dan anak/cucu disebut dengan kalalah. Berdasarkan ayat ini, maka bapak/kakek dan anak/cucu ketika ada menghalangi saudara/i seibu mendapatkan bagian 1/6 atau 1/3.
[17] Yakni mereka tidak lebih dari 1/3 meskipun jumlahnya lebih dari dua. Ayat ini juga menunjukkan bahwa yang laki-laki dan yang wanitanya mendapatkan bagian yang sama, karena lafaz "syurakaa" di ayat tersebut menunjukkan sama. Kata-kata "Fahum syurakaa' fits tsuluts" menunjukkan bahwa saudara sekandung menjadi gugur (tidak mendapat warisan) dalam masalah yang biasa disebut sebagai masalah Himaariyyah (dinamakan himariyyah menurut riwayat adalah karena dalam kasus seperti ini, seorang hakim pernah memutuskan bahwa saudara sekandung tidak mendapatkan bagian, sehingga yang tidak mendapatkan bagian ini berkata, "Katakanlah ayah kami himar (keledai) atau batu yang dicampakkan ke laut, namun bukankah ibu kami satu? Mengapa saudara seibu dapat pusaka, padahal kami juga seibu dengan mereka, tetapi mengapa tidak dapat?") ,yaitu ketika si mati meninggalkan suami, ibu, saudara/i seibu dan saudara kandung. Suami mendapatkan 1/2, ibu mendapatkan 1/6, saudara/i seibu mendapatkan 1/3, sedangkan saudara-saudara sekandung gugur (karena harta habis). Hal itu, karena Allah menyandarkan 1/3 kepada saudara/i seibu, jika sekiranya saudara-saudara sekandung ikut mengambil bagian, tentu hal ini sama saja menyatukan masalah yang Allah memisahkannya. Di samping itu, saudara/i seibu tergolong as-habul furudh (orang-orang yang berhak mendapat bagian tertentu), sedangkan saudara sekandung tergolong 'ashabah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ""Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang terdekat." (lafaznya sudah disebutkan sebelumnya). Dalam masalah himariyyah ini, tidak ada sisa, karena bagiannya telah habis diambil oleh as-habul furudh sehingga saudara sekandung tidak mendapatkannya (gugur).
Adapun bagian saudara/i sekandung atau sebapak, maka sudah disebutkan di akhir surat An Nisaa', "Yastaftuunaka fil kalaalah…dst." Berdasarkan ayat tersebut seorang saudari sekandung atau sebapak mendapatkan 1/2, jika ada dua maka mendapatkan 2/3 (yakni ketika tidak ada anak/cucu, ayah/kakek dan tidak ada saudara sekandung atau sebapak).
Namun seorang saudari sekandung jika bersama seorang saudari sebapak atau beberapa orang saudari sebapak mengambil 1/2, sedangkan sisanya dari 2/3 yaitu 1/6 untuk seorang saudari atau beberapa orang saudari sebapak menyempurnakan 2/3. Contoh: seorang wafat meninggalkan saudari sekandung, saudari seayah dan paman sekandung, maka saudari sekandung mendapatkan ½, saudari seayah mendapatkan 1/6 menyempurnakan 2/3 dan sisanya untuk paman.
Saudari kandung mewarisi sebagai ‘ashabah ma’al ghair apabila si mati meninggalkan wanita yang termasuk far’ (anak, cucu, dst. ke bawah) yang mendapatkan warisan sebagai as-habul furuudh, sehingga saudari kandung menduduki saudara sekandung. Contoh saudari kandung mewarisi sebagai ‘ashabah ma’al ghair adalah seorang wafat meninggalkan puterinya, puteri anaknya yang laki-laki, saudari sekandung dan saudara seayah, maka untuk puteri adalah ½, untuk puteri dari anaknya yang laki-laki adalah 1/6 untuk menyempurnakan 2/3, saudari kandung mendapatkan sisanya, sedangkan saudara seayah tidak mendapatkan apa-apa.
Jika beberapa orang-orang saudari sekandung menghabiskan 2/3, maka saudari-saudari sebapak gugur (tidak mendapatkan apa-apa) kecuali jika bersama mereka saudara sebapak yang berada sama dengan derajat mereka, maka mereka di'ashabahkan, sehingga sisanya untuk laki-laki dua orang bagian perempuan. Contoh: si mati meninggalkan dua orang saudari sekandung, saudari-saudari seayah dan seorang saudara seayah, maka dua orang saudari sekandung itu mendapat 2/3, dan sisanya dibagi antara saudara-saudara perempuan seayah dan saudara laki-laki seayah dengan pembagian bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
Jika beberapa orang saudara itu terdiri dari laki-laki dan perempuan (yakni jika bersama saudari kandung ada saudara laki-laki sekandung), maka saudari kandung menempati posisi 'ashabah bil ghair, sehingga bagiannya adalah seorang saudara laki-laki adalah dua bagian perempuan. Wallahu a'lam bish shawab.
As-habul Furuud Dari Pihak Laki - Laki
No. | Nama As-habul Furuudh | Fardh | Syarat |
1 | Ayah | 1/6 | Jika bersama far’/keturunan yang laki-laki (anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki) |
1/6 dan ‘ashabah | Jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki | ||
‘Ashabah | Jika tidak ada far’/keturunan laki-laki atau perempuan (anak/cucu dari anak laki-laki) | ||
2 | Suami | ¼ | Jika bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan. Jika far'nya bukan termasuk ahli waris seperti puteri dari puteri, maka ia tidaklah mengurangi bagian suami atau isteri. |
½ | Jika tidak ada anak atau cucu, baik laki-laki maupun perempuan, baik dari dirinya maupun suami lain | ||
3 | Kakek shahih (ayahnya ayah dst. ke atas) | 1/6 | Jika ada anak/cucu laki-laki |
1/6 + sisa | Jika ada seorang anak perempuan/cucu perempuan, dan tidak ada anak/cucu laki-laki | ||
‘Ashabah | Jika tidak ada ayah dan keturunan (anak/cucu) | ||
Tertutup | Jika ada ayah | ||
4 | Bagian saudara seibu (lain bapak) | 1/6 | Jika sendiri, dan tidak ada anak/cucu/ayah/kakek |
1/3 | Jika dua orang atau lebih, dan tidak ada anak/cucu/ayah/kakek | ||
Tertutup (mahjub) | Jika ada anak/cucu/ayah/kakek |
As-habul Furuud Dari Pihak Perempuan
No. | Nama As-habul furuudh | Fardh | Syarat |
1 | Isteri Jika isteri lebih dari satu, maka mereka membagi rata dari 1/4 atau 1/8. | 1/4 | Jika tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki, baik dari dirinya maupun isteri lain |
1/8 | Jika bersama anak atau cucu dari anak laki-laki | ||
2 | Ibu | 1/3 | Jika tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki dan sejumlah (lebih dari satu) orang saudara |
1/6 | Jika bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, atau | ||
Sejumlah (lebih dari satu) saudara, baik pria maupun wanita Baik mereka laki-laki saja, atau laki-laki bersama wanita atau wanita saja, juga sama saja baik sekandung, seayah atau seibu. | |||
1/3 dari sisa harta peninggalan | Jika bersama ayah dan suami atau isteri | ||
3 | Nenek | 1/6 (baik sendiri maupun banyak) | Jika tidak ada ibu. |
Tetutup | Jika ada ibu atau nenek yang lebih dekat kepada si mati. | ||
4 | Anak perempuan | 1/2 | Jika seorang diri dan tidak ada anak laki-laki |
2/3 | Jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak laki-laki | ||
‘Ashabah | Jika bersama anak laki-laki, yakni bagian seorang laki-laki dua bagian wanita | ||
5 | Cucu perempuan dari anak laki-laki | 1/2 | Jika seorang diri dan tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan |
2/3 (dibagi rata) | Jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak/cucu laki-laki | ||
1/6 | Jika bersama seorang anak perempuan (tidak meninggalkan anak laki-laki atau cucu laki-laki) menyempurnakan 2/3 | ||
‘Ashabah | Jika bersama dengan cucu laki-laki | ||
Tertutup | Jika ada anak laki-laki, | ||
Jika ada dua puteri atau lebih, kecuali jika bersama mereka ada cucu laki-laki dari anak laki-laki yang sederajat atau di bawah mereka sehingga mereka menjadi 'ashabah | |||
6. | Saudari kandung | 1/2 | Jika seorang diri dan tidak ada anak/cucu, ayah/kakek dan tidak ada saudara sekandung |
3-Feb | Jika 2 orang atau lebih dan tidak ada anak/cucu, ayah/kakek dan tidak ada saudara sekandung | ||
‘Ashabah bil ghair | Jika bersama saudara laki-laki sekandung dan tidak ada orang-orang di atas, bagian seorang laki-laki adalah dua bagian perempuan. | ||
‘Ashabah ma’al ghair | Jika bersama anak perempuan/cucu perempuan dari anak laki-laki, ia mengambil sisanya setelah anak perempuan atau cucu perempuan mengambil bagian sebagai as-habul furudh | ||
Tertutup | Ketika ada ahli waris far' yang laki-laki seperti anak/cucu dan ketika ada ahli waris ushul seperti bapak, adapun oleh kakek masih ada khilaf | ||
7 | Saudari seayah | 1/2 | Jika sendiri dan tidak ada anak atau cucu, saudara sebapak, saudari sekandung dan ayah/kakek. |
2/3 | Jika ada 2 orang atau lebih dan tidak ada anak atau cucu, saudara dan ayah/kakek. | ||
1/6 | Jika bersama-sama dengan seorang saudari kandung, tanpa saudara laki-laki. | ||
‘Ashabah bighairih | Jika ada saudara laki-laki sebapak, seorang laki-laki mendapatkan dua bagian perempuan. | ||
‘Ashabah ma’a ghairih | Jika bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan, ia mengambil sisanya setelah anak perempuan atau cucu perempuan mengambil bagian sebagai as-habul furudh. | ||
8 | Saudari seibu (lain bapak) | 1/6 | Jika sendiri, dan tidak ada anak/cucu/ayah/kakek |
1/3 | Jika dua orang atau lebih, dan tidak ada anak/cucu/ayah/kakek | ||
Tetutup | Jika ada anak/cucu/ayah/kakek |
Untuk Tabel Supaya lebih jelas Silahkan bisa di download disini Download
Sumber :
Penjelasan Lebih lengkapnya lihat di sini http://www.tafsir.web.id/2013/01/tafsir-nisa-ayat-11-12.html
Tulisan Ayat Al Qur'an dari http://quran.com/4/11-12
Posting Komentar untuk "Aturan Warisan Dalam Islam"